KATA
PENGANTAR
Segala
puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan
salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi tugas “Patofisiologi dan Farmakoterapi
Respirasi”.
Adapun makalah berjudul “Tuberculosis
(TBC)”. Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini
tidak lain berkat bantuan dari berbagai pihak, sehingga kendala-kendala yang
penulis hadapi teratasi.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca demi
perbaikan pembuatan makalah di masa yang
akan datang.
Akhir kata
penulis mengucapkan banyak terimakasih. Dan apabila ada kesalahan dan kata kata
yang kurang berkenan, saya selaku penulis mohon maaf yang sebesar besarnya.
Makassar, 26 Januari 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Respirasi adalah proses oksidasi bahan makanan atau
bahan organik yang terjadi didalam sel yang dapat dilakukan secara aerob maupun
anaerob.
Semua makhluk yang hidup atau
organisme pasti melakukan melakukan pernapasan atau proses respirasi. Bernapas
merupakan salah stu ciri-ciri makhluk hidup. Tanpa bernapas, makhluk hidup atau
organisme tidak dapat bertahan hidup. Dalam melakukan proses respirasi ini
dibutuhkan yang namanya O2 (oksigen). Karena proses respirasi
(pernafasan) merupakan proses pengikatan oksigen dan melepaskan CO2 (karbon
dioksida). Adapun, O2 yang dihirup berasal didapatkan diudara
bebas dari hasil fotosintesis tumbuhan hijau yang mengurai CO2 yang
dikeluarkan dari pernafasan makhluk hidup dengan bantuan cahaya matahari.
Namun, saat ini seperti yang kita ketahui bahwa O2 di udara
mulai berkurang dan tercemar seiring berjalannya waktu sebagai akibat dari
polusi udara dari asap pabrik, asap kendaraan dan sebagainya sehingga sering
terjadi gangguan pernapasan.
Proses terjadinya kegiatan respirasi
pada manusia dan hewan terjadi pada siang hari dan malam hari baik itu pada
saat mereka sedang istirahat. Sedangkan pada tumbuhan, melakukan respirasi pada
malam hari dan melakukan fotosintesis pada siang hari karena pada saat siang
hari itulah tumbuhan bisa mendapatkan energiu dari matahari tetapi pada malam
pun dapat terjadi fotosintesis apabila mendapatkan atau memperoleh cahaya yang
cukup banyak yang dapat mengurai CO2 yang terdapat di udara.
Seperti yang
kita ketahui bahwa ada beberapa factor yang mempengaruhi proses respirasi itu
seperti jenis, suhu, aktivitas, berat tubuh dan lainnya, sehingga banyak juga
penyakit-penyakit respirasi salah satunya seperti Tuberculosis (TBC).
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Tuberculosis (TBC)
Tuberculosis (TBC) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Bakteri ini dapat menyerang seluruh organ tubuh
manusia, namun yang paling sering diserang adalah paru-paru (maka secara umum
sering disebut sebagai penyakit paru-paru atau TB Paru-paru. Bakteri ini
menyerang paru-paru sehingga pada bagian dalam alveolus terdapat bintil-bintil.
Penyakit ini menyebabkan proses difusi oksigen yang terganggu karena adanya
bintik-bintik kecil pada dinding alveolus. Jika bagian paru-paru yang diserang
meluas, sel-selnya mati dan paru-paru mengecil. Akibatnya napas penderita
terengah-engah.
B. Penyebab Tuberculosis (TBC)
Penyakit ini diakibatkan infeksi kuman mikobakterium tuberkulosis yang
dapat menyerang paru, ataupun organ-organ tubuh lainnya seperti kelenjar getah
bening, usus, ginjal, kandungan, tulang, sampai otak. TBC dapat mengakibatkan
kematian dan merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyebabkan kematian.
Tuberculosis (TBC) sangat mudah menular, yaitu lewat cairan di
saluran napas yang keluar ke udara lewat batuk/bersin & dihirup oleh
orang-orang di sekitarnya. Tidak semua orang yang menghirup udara yang
mengandung kuman TBC akan sakit.
Pada orang-orang yang memiliki tubuh yang sehat karena daya tahan tubuh
yang tinggi dan gizi yang baik, penyakit ini tidak akan muncul dan kuman TBC
akan "tertidur". Namun,pada mereka yang mengalami kekurangan gizi,
daya tahan tubuh menurun/ buruk, atau terus-menerus menghirup udara yang mengandung
kuman TBC akibat lingkungan yang buruk, akan lebih mudah terinfeksi TBC
(menjadi 'TBC aktif') atau dapat juga mengakibatkan kuman TBC yang
"tertidur" di dalam tubuh dapat aktif kembali (reaktivasi).
Infeksi TBC yang
paling sering, yaitu pada paru, sering kali muncul tanpa gejala apa pun yang
khas, misalnya hanya batuk-batuk ringan sehingga sering diabaikan dan tidak
diobati. Padahal, penderita TBC paru dapat dengan mudah menularkan kuman TBC ke
orang lain dan kuman TBC terus merusak jaringan paru sampai menimbulkan
gejala-gejala yang khas saat penyakitnya telah cukup parah.
C. Gejala Tuberculosis (TBC)
1.
Gejala utama
Batuk terus-menerus
dan berdahak selama tiga pekan atau lebih.
2.
Gejala tambahan yang sering
dijumpai
·
Dahak
bercampur darah/batuk darah
·
Sesak
nafas dan rasa nyeri pada dada
·
Demam/meriang
lebih dari sebulan
·
Berkeringat
pada malam hari tanpa penyebab yang jelas
·
Badan
lemah dan lesu
·
Nafsu
makan menurun dan terjadi penurunan berat badan
D. Diagnosa
Tuberculosis (TBC)
Untuk mendiagnosis
TBC, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik, terutama di daerah paru/dada,
lalu dapat meminta pemeriksaan tambahan berupa foto rontgen dada, tes
laboratorium untuk dahak dan darah, juga tes tuberkulin (mantoux/PPD).
E. Petofisiologi
Tuberculosis (TBC)
Infeksi primer
diinisiasi oleh implantasi oleh organism di alveolar melalui droplet nuclei
yang sangat kecil (1-5mm) untuk menghindari sel ephitelia siliari dari saluran
atas pernafasan. Bila terinplantasi M. tuberculosis melalui saluran nafas,
mikroorganisme kn membelah diri dan dicerna oleh mkrofagpulmoner, dimana
pembelahan diri akan terus berlangsung, walaupun lebih pelan. nerkosis jaringan
dan klasifikasi jaringan pada daerah yang terinfeksi dan nodus limfe regional
dapat terjadi, menghasilkan pembentukan radiodense area menjadi kompleks gohn.
Makrofag yang
beraktivitas dalam jumlah besar akan mengelilingi daerah yang ditumbuhi oleh M.
Tuberkulosis yang padat seperti keju (daerah nerkotik) sebagai bagiandari
imunitas yang dimediasi oleh sel. Hipersensitivitas tipe terunda juga
berkembang melalui aktivitas dan perbanyakan limfoid T. Keberhasilan dalam
menghambat M. Tuberkulosis membutuhkan aktivitas dari limfosit CD4 subset, yang
dikenal sebagai sel TH-1, yang mengaktivasi makrofag melalui sekresi
internefron γ
Sekitar 90% pasien
yang pernah memiliki penyakit primer tidak memiliki manifestasi klinis lain
selain uji kulit yang positif dengan atau tanpa kombinasi dengan adanya
granuloma stabil yang diperoleh dari hasil radiografi.
Sekitar 5%
pasien ( biasanya anak-anak, arangtua atau penurunan sistem imun) mengalami
penyakit primer yang berkembang pada darah dan infeksi primer ( biasanya lobus
paling bawah) dan lebih sering dengan diseminasi, menyebabkan terjadinya
infeksi meningitis dan biasanya juga melibatkan lobus paru-paru paling atas.
Sekitar 10% dari pasien mengalami
reaktivitas, terjadi penyebaran organisme melalui darah. Biasanya penyebaran
orgaisme mealui darah menyebabkan pertumbuhan cepat, penyebaran penyakit secara
luas dan membentuk granuloma yang dikenal sebagai tuberculosis malari
F. Farmakoterapi
Tuberculosis (TBC)
Penggunaan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) merupakan hal penting pada terapi tuberkulosis,
paling sedikit dua obat, umumnya tiga atau lebih obat dimana mikroorganisme
penginfeksi tersebut sensitif harus diberikan secara terus menerus paling
tidak selama enam bulan dan ditingkatkan 2 -3 tahun untuk beberapa kasus
resisten multi obat. Terapi Non Farmakologi yaitu Operasi
pada jaringan yang telah mengalami kerusakan jaringan akibat TBC.
G. Pencegahan
Tuberculosis (TBC)
Penyakit TBC dapat
dicegah dengan cara:
a. Mengurangi kontak dengan penderita
penyakit TBC aktif.
- Menjaga standar hidup yang baik, dengan makanan bergizi, lingkungan yang sehat, dan berolahraga.
- Pemberian vaksin BCG (untuk mencegah kasus TBC yang lebih berat). Vaksin ini secara rutin diberikan pada semua balita.
Perlu diingat bahwa mereka yang sudah
pernah terkena TBC dan diobati, dapat kembali terkena penyakit yang sama jika
tidak mencegahnya dan menjaga kesehatan tubuhnya.
H. Obat-obat Tuberculosis (TBC)
Obat anti
tuberkulosis adalah antibiotik dan anti infeksi sintetik yang digunakan untuk
pengobatan tuberkulosis dan penyakit lain yang disebabkan oleh organisme genus Mycobacterium. Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid,
Ethambutol, dan Streptomisin adalah obat yang paling sering digunakan untuk
pengobatan tuberkulosis dan disebut sebagai obat anti tuberkulosis lini
pertama. Rifapentin, Rifabutin, seperti juga Rifampisin, adalah derivat
Rifamisin : obat tersebut digunakan sebagai alternatif dari Rifampisin.
Obat
antituberkulosis lainnya adalah Asam aminosalisilik, Kapreomisin,
Etionamid, Sikloserin, dan Kanamisin. Umumnya obat tersebut lebih toksik dan
kurang efektif daripada obat lini pertama dan hanya digunakan apabila obat lini
pertama dikontraindikasikan atau telah resisten. Streptomisin, Kanamisin, dan
Kapreomisin mempunyai efek toksik yang mirip, oleh karena itu tidak boleh ada
lebih dari satu obat tersebut dalam rejimen antituberkulosis.
Isoniazid 300 mg per oral sehari adalah
bakterisidal untuk Mycobacterium tuberkulosis, M.
kansasii, dan M. bovis.Isoniazid diabsorpsi sangat baik secara oral
dan didistribusikan ke seluruh tubuh, termasuk ke dalam cairan otak (CSF). Efek
sampingnya yaitu Hepatotoksik.
Peningkatan
serum transaminase terjadi pada lebih dari 20% pasien setelah beberapa bulan
pertama pemberian Isoniazid, tetapi biasanya membaik meski pengobatan
dilanjutkan.
Rifampisin 10
mg/kg/hari maksimum 600 mg peroral sekali sehari, merupakan bakterisidal
untuk gram-positif cocci, beberapa gram negatif bacilli dan hampir semua
species Mycobacterium. Absorpsi
dan distribusi, termasuk penetrasi kedalam SSP, sangat baik. Pasien perlu
diberitahu terjadinya pewarnaan oranye kemerahan pada sekresi air mata, urin
dan keringat karena penggunaan rifampisin, tetapi ini tidak membahayakan. Toksisitas seperti
kulit kemerahan, efek samping terhadap SSP, gangguan pencernaan, dan hepatitis
dapat diperberat dengan adanya penyakit hati.
Rifampisin
dimetabolisme oleh hati , menginduksi enzim miksosomal hati dan mempengaruhi
metabolism banyak obat lainnya. Interaksi Rifampisin dengan banyak obat lain
ini perlu diwaspadaai karena dapat membahayakan pasien.
Rifampisin
berinteraksi dengan obat antiretroviral golongan protease Inhibitor :
saquinavir, idinavir, ritonavir dan nelfinavir ; serta golongan
nonnucleosid reverse transcriptase Inhibitors = NNRTIs : nevirapine,
delavirdine, dan efavirenz, interaksi tersebut dapat mempengaruhi
konsentrasi obat dalam plasma. Oleh karena interaksi tersebut dapat
membahayakan pasien maka penggunaan bersama harus dihindari.
Adanya makanan
dapat menurunkan absorpsi Rifampisin, konsentrasi Rifampisin dapat turun jika
digunakan bersama makanan. Oleh karena itu Rifampisin dianjurkan untuk diminum
saat lambung kosong yaitu satu jam sebelum makan atau dua jam sesudah makan,
untuk meningkatkan absorpsi total obat.
Pirazinamid 15-30 mg/kg/hari per oral ; maksimum 2
g/hari merupakan bakterisidal untuk micobakteri intraselular. Pirazinamid
diabsorpsi dengan baik dari saluran pencernaan dan didistribusikan ke jaringan
dan cairan tubuh termasuk CSF. Obat diekskresikan melalui ginjal. Efek samping
utama adalah hepatotoksik.
Ethambutol dosis lazim 15 mg/kg sehari, dosis
awal 25 mg/kg/hari dapat digunakan pada infeksi yang lebih berat. Obat
diekskresikan terutama melalui ginjal, dan dosis sebaiknya dikurangi pada
pasien dengan kerusakan ginjal. Toksisitas yang signifikan adalah optic
neuritis, yang dapat terjadi pada kurang dari 1% pasien yang
menggunakan ethambutol 15 mg/kg/hari dan lebih banyak lagi terjadi pada
dosis yang lebih tinggi. Penurunan ketajaman penglihatan, persepsi warna
hijau, atau gangguan visual dapat terjadi kemudian. Pemeriksaan mata
secara rutin sebaiknya dilakukan, komplikasi ophtahalmologic tersebut
dapat hilang seiring dengan penghentian obat.
Streptomisin Dosis 15 mg/kg/hari IM, maksimum 1 g
merupakan aminoglikosida tuberkulosidal. Dosis 25-30 mg/kg IM dua kali seminggu
atau tiga kali seminggu, maksimum 1,5 g juga dapat diberikan dengan pengawasan
(DOTS). Dosis perlu disesuaikan pada pasien dengan kerusakan fungsi ginjal. Risiko
Ototoksisitas menyebabkan pasien perlu mendapatkan pemeriksaan pada
pendengarannya.
Evaluasi dan
monitoring perlu dilakukan untuk mengetahui respon pasien terhadap pengobatan.
Keberhasilan terapi ataupun kegagalan terapi dapat diketahui dengan mengevaluai
hasil terapi yang diinginkan dan monitoring efek toksik yang perlu diwaspadai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tuberkulosis (TBc) masih merupakan masalah
kesehatan di seluruh dunia, oleh karena morbiditas dan mortalitasnya masih
tinggi, terutama pada negara yang sedang berkembang. WHO (World Health Organization)
menyatakan bahwa TBC saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan terdapat
8 juta kasus baru dan 3 juta kematian karena TBC setiap
tahunnya. Menurut WHO tahun 1989, di negara berkembang terdapat 1,3 juta kasus
dan 450.000 kematian karena TBC pada anak di bawah 15 tahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1986, TBC adalah penyebab kematian nomor 4 sedangkan menurut SKRT
tahun 1992, TBC sebagai penyebab kematian nomor 2 sesudah penyakit
kardiovaskuler dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi. Sedangkan pada saat
ini, laporan internasional menunjukan bahwa Indonesia adalah ‘penyumbang’ kasus
penderita TBC terbesar ketiga didunia, setelah Cina dan India. Penularan
tuberkulosis melalui udara dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung
basil tuberkulosis yang infeksius. Oleh karena itu penting untuk memeriksakan
orang-orang yang kontak erat dengan penderita TBC.
B. Saran
Semoga kita semua dapat lebih memahami dan mengetahui
tentang penyakit Tuberculosis (TBC) serta dapat meningkatkan kesadaran, kemauan
dan peran serta dalam penanggulangan Tuberculosis (TBC).
0 Comment to "Makalah Tuberculosis (TBC)"
Posting Komentar
Komentar Anda Adalah Motivasi Untuk Saya