BAB
I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Farmakologi
atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan
seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologinya,
reabsorpsi dan nasibnya dalam organism hidup. Untuk menyelidiki semua interaksi
antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaan pada pengbatan
penyakit, disebut farmakologi klinis. Ilmu khasiat obat ini mencakup beberapa
bagian, yaitu farmakognosi, biofarmasi, farmakokinetika dan farmakodinamika,
toksikologi dan farmakoterapi. Sedangkan obat itu sendiri adalah semua zat baik
kimiawi, hewani maupun nabati yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan,
meringankan atau mencegah penyakit berikut gejalanya.
Demam
tifoid (selanjutnya disebut tifoid saja) atau tifus abdominalis banyak
ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik diperkotaan maupun dipedesaan.
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas yang mendalam dari Higiene
pribadi dan sanitasi lingkungan seperti, higiene perorangan dan higiene
penjamah makanan yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat
umum (rumah makan, restoran) yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak
mendukung untuk hidup sehat. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang
berkepanjangan akan menimbulkan peningkatan kasus-kasus penyakit menular,
termasuk tifoid ini.
Di
Indonesia penyakit ini bersifat endemic dan merupakan masalah kesehatan
masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, kasus
tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan
rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0,6-5 %.
Dewasa
ini penyakit tifoid harus mendapat perhatian yang serius karena permasalahannya
yang makin kompleks sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan.
Permasalannya antara lain yaitu gejala-gejala klinik bervariasi dari sangat
ringan sampai berat dengan komplikasi yang berbahaya, meningkatnya kasus-kasu
karier atau relaps, komorbid atau koinfeksi dengan penyakit lain, dan sampai saat
ini sangat sulit dibuat vaksin yang efektif, terutama untuk masyarakat kita
yang tinggal di daerah-daerah yang bersifat endemik.
Berdasarkan
kajian diatas, dirasakan sangat perlu suatu upaya terpadu dan saling memahami
pada kegiatan pengobatan atau pencegahan oleh seluruh tenaga kesehatan yang
terlibat dalam pengendalian penyakit ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Demam Tifoid
Demam
tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever, yang disebabkan
oleh Salmonella typhi yang sering
kali ditularkan pada manusia oleh basil ternak. Tifus sebetulnya termasuk dalam
golongan penyakit demam berhubung adanya beberapa gejala, seperti demam tinggi
dan kepala sangat nyeri. Tetapi penyakit ini dibicarakan juga disini karena
infeksi pertama terjadi di usus. Kuman-kuman memperbanyak diri di situ, lalu
menyebar melalui limfe dan darah ke sirkulasi besar dan hati. Melalui saluran
empedu basil tiba lagi dalam usus, dengan demikian infeksi dipertahankan.
Diagnose dilakukan melalui persemaian darah.
B. Patogenesis
Patogenesis
demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa tahapan. Setelah
kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam
lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di
usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan
mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam
vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid
mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik.
Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala
dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi
ini terjadi selama 7-14 hari.
Bakteri
dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam
organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang.
Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi,
kuman akan disebarkan kembali ke dalam system peredaran darah dan menyebabkan
bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia
sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri
abdomen.
Bakteremia
dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada
tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s
patches dapat terjadi melalui proses infl amasi yang mengakibatkan nekrosis dan
iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.
Kekambuhan
dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial
dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam
tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier
C.
Gejala Klinis
Kumpulan
gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam tifoid. Beberapa
gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah:
1.
Demam
Demam atau panas adalah gejala utama
tifoid. Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu
tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi
(demam intermitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi yang
disertai banyak gejala lain seperti sakit kepala (pusing) yang sering dirasakan
di area frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, mual dan muntah. Pada
minggu ke-2 intenditas demam makin tinggi, kadang-kadang terus-menerus (demam
kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun
dan dapat normal kembali pada minggu ke-3. Namun perlu diperhatikan bahwa demam
khas tifoid tersebut tidak selalu ada. Tipe demam dapat menjadi tidak
beraturan. Hal ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang
dapat terjadi lebih awal.
2.
Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak
sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah
kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan
tremor (coated tongue atau selaput putih), dan pada penderita anak jarang
ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio
epidastrik (nyeri ulu hati), disertai mual dan muntah. Pada awal sering
meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.
3.
Gangguan kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang
kebanyakan berupa penurunan kesadaran ringan. Sering ditemukan kesadaran apatis
dengan kesadaran seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang
penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis (Organic
Brain Syndrome). Pada penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.
4.
Hepatosplenomegali
Hati dan limpa ditemukan sering
membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.
5.
Bradikardi relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif tidak sering
ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Bradikardi
relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh frekuensi nadi.
Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 1°C tidak
diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan
pada demem tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan di regio abdomen
atas, serta gejala-gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang
terjadi.
D.
Diagnosis
Diagnosis
dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk mendapatkan
hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.
Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu
mendeteksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan
tambahan dari laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.
Gambaran
darah tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan pada
keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan penyakit, dapat dijumpai
pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut
terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif ). Ciri lain yang
sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah aneosinofilia (menghilangnya
eosinofil).
Diagnosis
pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3
prinsip, yaitu:
1.
Isolasi bakteri
2.
Deteksi antigen mikroba
3.
Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab.
Kultur
darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada
60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL
untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik
yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang
terdeteksi).
Peran
pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi)
masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan
antibody terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. Pada orang
yang telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan
antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk
menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer
sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis
disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat
setempat.
Pemeriksaan
Tubex dapat mendeteksi antibody IgM. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan
adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini
adalah O dan hanya dijumpai pada Salmonella
serogroup D.
Pemeriksaan
lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya
IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM
menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap
selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan
antara kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan.
Yang
lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan untuk mendeteksi IgM
saja. Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifi sitas yang lebih tinggi
dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap
harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya.
E. Diagnosis
Komplikasi
Diagnosis
untuk komplikasi tifoid adalah secara klinis, dibantu oleh pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Monitor selama perawatan harus terlaksana
dengan baik, agar komplikasi dapat terdeteksi secara dini.
1. Tifoid
Toksik
Tifoid
toksik adalah diagnosis klinis. Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan
panas tinggi yang disertai dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun,
mulai dari delirium sampai koma.
2. Syok
Septik
Penderita
dengan sindrom tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia yang berat.
Didapatkan gejala gangguan hemodinamik seperti tensi turun, nadi halus dan
cepat, keringatan yang dingin.
3. Pendarahan
dan Perforasi
Komplikasi
pendarahan ditandai dengan hematoshezia. Tapi dapat juga diketahui dengan
pemeriksaan laboratorium terhadap feses. Komplikasi perforasi ini ditandai
dengan gejala-gejala akut abdomen dan peritonitis. Didapatkan gas bebas dalam
rongga perut yang dibantu dengan pemeriksaan klinis bedah dan foto polos
abdomen 3 posisi.
4. Hepatitis
Tifosa
Adalah
diagnosis klinis, dimana didapatkan kelainan yakni ikterus, hepatomegali dan
kelainan tes fungsi hati.
5. Pancreatitis
Tifosa
Adalah
diagnosi klinis dimana didapatkan pertanda pankreastitis akut dengan
peningkatan enzim lipase dan amylase. Dapat dibantu dengan USG atau CT.Scan.
6. Pneumonia
Juga
diagnosis klinis dimana didapatkan pertanda pneumonia. Diagnosis dapat dibantu
dengan foto polos toraks.
F. Cara
Penularan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Basis
Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi makanan atau
minuman yang dikonsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses atau urin dari
pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan, pada
penularan adalah:
1. Higiene
perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Hal ini
jelas pada anak-anak, penyaji makanan
serta pengasuh anak.
2. Higiene
makanan dan minuman yang rendah. Faktor ini paling berperan pada penularan
tifoid. Contoh diantaranya adalah makanan yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk
dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi
lalat, air minum yang tidak dimasak, dan sebagainya.
3. Sanitasi
lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran dan sampah yang
tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
4. Penyediaan
air bersih untuk warga yang tidak memadai.
5. Jamban
keluarga yang tidak memenuhi syarat.
6. Pasien
atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
7. Belum
membudaya program imunisasi untuk tifoid, dll.
G. Terapi
Terapi pada demam tifoid adalah
untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan
menghindari kematian. Yang juga tidak
kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan
keadaan carrier.
Sebagai pilihan pertama digunakan
kotrimoksazol 2 dd 3 tablet (1440
mg), pilihan kedua adalah amoksisilin
6 dd 1 g selama 2 minggu, juga kloramfenikol
4 dd 750 mg sampai demam hilang, lalu 4 dd 500 mg, total juga 2 minggu. Pada
kasus yang parah dengan shock dan kegelisahan dianjurkan penambahan prednisolon untuk membantu turunnya
demam lebih cepat serta memberikan perasaan segar dan sembuh pada pasien.
Pemberian ini maksimal selama 3 hari agar jangan memperbesar resiko pendarahan
usus. Pada obstipasi tidak boleh diberikan laksansia berhubung bahaya perforasi
dan pendarahan.
Selain dengan obat-obatan juga ada cara tradisional
untuk menyembuhkan penyakit typus yaitu dengan menggunakan tanaman obat yang
bisa kita jumpai di lingkungan kita.
1. Sambiloto ( Andographis
paniculato)
Fungsi dari tanaman ini adalah untuk menurunkan panas atau
demam, fungsi lain untuk antiracun dan antibengkak. Cukup efektif untuk
meningkatkan kekebalan tubuh, serta mengatasi infeksi dan merangsang
phagocytosis.
Kandungan : Laktone, Asam Kersik, Dammar dan Flavatiod.
Cara pengolahan :
Daun sambiloto segar sebanyak 10 – 15 lembar direbus dengan 2
gelas air sampai tersisa 1 gelas. Setelah dingin disaring, tambahkan madu
secukupnya lalu diminum sekaligus. Lakukan 3 kali sehari.
2. Bidara upas (Convolvulus
mammosa)
Tanaman ini digunakan untuk mengurangi rasa sakit
(analgesic), menetralkan racun dan sebagai anti radang.
Kandungan : Damar, Amilum (Pati), Zat Pahit dan Resin.
Bahan utama : Umbi
bidara upas secukupnya, air secukupnya dan madu 1 sendok makan
Cara Pengolahan :
Umbi dikupas, dicuci bersih, dipotong-potong dan direbus dengan
air sampai mendidih. Setelah itu, saring dan dinginkan. Air diminum 2-3 kali
setiap hari sampai sembuh. Bisa pula ditambahkan dengan madu murni secukupnya.
3. Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza, Roxb.)
Sifat dari tanaman ini adalah bakteriostatik dan bermanfaat
untuk meningkatkan kekebalan tubuh serta antiflasma atau pembengkakan.
Kandungan :
Fellandrean, Turmerol, Minyak atsiri, Kamfer, Glukosida dan Foluymetik
karbinol.
Bahan utama : Temu lawak 100 gram dan air 1000 cc
Cara pengolahan :
Temulawak dikupas, diiris tipis-tipis, dikeringkan dan
ditumpuk sampai halus menjadi tepung. Tepung tersebut direbus dengan 4 gelas
(1000 cc) air sampai mendidih hingga tinggal 2 gelas. Dinginkan dan saring. Air
saringan diminum 2 kali sehari.
4. Meniran (Phyanthus
urinaria Linn.)
Kandungan : Zat flantin, Kalium, Zat penyamak,
Mineral dan Damar.
Bahan utama : 3-7 batang Tanaman meniran lengkap
(akar, batang, daun dan bunga).
Cara Pengolahan :
Bahan dicuci bersih, kemudian diseduh dengan 1 gelas air panas.
Disaring, kemudian diminum sekaligus.
H.
Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu
menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan
terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan
tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting
seiring dengan munculnya kasus resistensi.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi
terutama untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam
tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:
1.
Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin
ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan secara
subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan
efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
2.
Vaksin Ty21a
Vaksin
oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak
usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2
hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini
efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%.
3.
Vaksin Vi-conjugate
Vaksin
ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi
perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini
menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun
kesimpulan yang dapat diperoleh adalah :
1. Demam tifoid disebut juga dengan
Typus abdominalis atau typoid fever, yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang
sering kali ditularkan pada manusia oleh basil ternak. Tifus sebetulnya
termasuk dalam golongan penyakit demam berhubung adanya beberapa gejala,
seperti demam tinggi dan kepala sangat nyeri.
2. Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran
klinis dan pemeriksaan tambahan dari laboratorium.
3. Terapi yang diberikan adalah istirahat,
diet lunak, dan antimikroba. Pada saat ini, antimikroba dengan waktu penurunan
demam cepat, pemberian praktis 1 kali sehari selama 7 hari, dan efek samping
minimal adalah levofloxacin.
4. Diagnosis demam tifoid yang ditegakkan
secara dini dan disertai pemberian terapi yang tepat mencegah terjadinya
komplikasi, kekambuhan, pembawa kuman (carrier), dan kemungkinan kematian.
5. Strategi pencegahan diarahkan pada
ketersediaan air bersih, menghindari makanan yang terkontaminasi, higiene
perorangan, sanitasi yang baik, dan pemberian vaksin sesuai kebutuhan.
B. Saran
Telah diketahui beberapa
faktor yang menjadi penyebab dari penyakit tifoid. Oleh karena itu, faktor
tersebut dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit tifus sejak dini.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim,
2011. “Demam Tifoid”, (online)(http://repository.usu.ac.pdf) Diakses pada
tanggal 15 oktober 2013.
Anonim,
2012. “Lembar Fakta Penyakit Menular”, (online)
(http://mhcs.health.nsw.gov.aupublicationsandresources.pdf) Diakses pada
tanggal 15 oktober 2013.
Gunawan,
Sulistia Gan, 2007. “Farmakologi dan Terapi Edisi 5”, Departemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI : Jakarta.
Mentri
Kesehatan Republik Indonesia, 2006. “Pedoman Pengendalian Demam Tifoid”, No.364
:Jakarta.
RHH
Nelwan, 2012. “Tata Laksana Terkini Demam Tifoid”, Continuing Medical
Education, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM-Jakarta, No.4, Vol.39, Hal
247-250.
Sukandar,
Ellin Yulinah,dkk. 2009. “Iso Farmakoterapi”. PT ISFI Penerbitan : Jakarta
Tjay,
Tan Hoan dan Raharja, Kirana. 2012. “Obat-Obat Penting Edisi ke-V”. PT.Alex
Media Komputindo Kelompok Gramedia : Jakarta
0 Comment to "Tifoid"
Posting Komentar
Komentar Anda Adalah Motivasi Untuk Saya